Saturday, October 15, 2011

mengenal supriyadi,sosok pahlawan yang hingga kini masih menjadi misteri


Pemberontakan PETA Blitar pecah pada 14 Februari 1945. Sejatinya, pemberontakan dilakukan lebih awal, yakni 5 Februari 1945 saat dilakukan latihan bersama (Daidan) batalyon PETA Jawa Timur di Tuban. Namun, rencana ini gagal, karena Jepang mendadak membatalkan jalannya latihan. Perwira PETA yang terlanjur datang ke Tuban dipulangkan masing-masing ke kotanya.

Rencana pemberontakan PETA sendiri sesungguhnya datang dari akumulasi kekecewaan para kadet PETA terhadap Jepang. Di lapangan, mereka kerap menjumpai tindak sewenang-wenang tentara Jepang kepada pribumi, sementara dalam latihan ketentaraan, Jepang selain keras juga melakukan diskriminasi, seperti keharusan menghormat tentara Jepang meski pangkatnya lebih rendah.

Adalah Supriyadi yang menjadi motor rencana pemberontakan. Sebetulnya ia hanya seorang Shudanco (komandan peleton). Atasannya masih ada Cudanco (komandan kompi) Ciptoharjono dan Daidanco (komandan batalyon) Soerahmad. Namun, tak bisa dipungkiri, inisiatif dan otak pemberontakan ada di tangan Supriyadi. Ia menggandeng beberapa rekan Shudanco yang sepaham.

Syahdan pada 9 Februari 1945, Supriyadi menemui guru spiritualnya, Mbah Kasan Bendo. Ia mengutarakan maksud untuk melawan Jepang. Konon, saat itu Kasan Bendo memintanya untuk bersabar dan menunda gerakan hingga 4 bulan. "Tapi kalau ananda mau juga melawan tentara Jepang sekarang, saya hanya dapat memberikan restu kepadamu, karena perjuanganmu itu adalah mulia."

Pesan itu disampaikan Supriyadi kepada rekan-rekannya. Setelah sempat menemui pimpinan PUTERA, Soekarno dan gagal mendapat restu, Supriyadi mengadakan rapat terakhirnya 13 Februari 1945 di kamar Shudanco Halir Mangundjidjaja. Hadir Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono. Hasilnya, pemberontakan akan dilakukan besok. Mereka masing-masing tahu risikonya bila gagal, paling ringan disiksa dan paling berat hukuman mati.

Rencana ini terkesan tergesa-gesa karena Supriyadi dan rekan-rekannya khawatir tindak tanduk mereka telah dimonitor Jepang. Shudanco Halir menceritakan di Blitar baru saja datang satu gerbong anggota Kempetai yang baru datang dari Semarang. Mereka menginap di Hotel Sakura. Supriyadi cs menduga, kedatangan Kempetai untuk menangkap dirinya dan rekan-rekannya.

14 Februari 1945, pukul 03.00, senjata dan peluru dibagi-bagikan ke anggota PETA. Jumlah yang ikut serta 360 orang. Setengah jam kemudian, Bundanco Soedarmo menembakkan mortir ke Hotel Sakura. Hotel direbut dan tentara PETA menurunkan slogan "Indonesia Akan Merdeka" (janji proganda Jepang) dan menggantinya dengan spanduk "Indonesia Sudah Merdeka." Merah putih juga dikibarkan.

Pasukan PETA melucuti senjata para polisi dan membebaskan tawanan dari penjara. Beberapa orang Jepang yang ditemui dibunuh. Mereka lalu bergerak menyebar ke tempat yang sudah ditentukan sebelumnya. Namun entah kenapa, rencana penyebaran malah gagal. Seluruh pasukan PETA seusai serangan justru berkumpul di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri.

Sejak awal, Jepang berhati-hati dalam menangani pemberontakan PETA. Mereka tidak terlalu ofensif dan cenderung menggunakan jalan persuasif untuk menjinakkan Supriyadi dan rekan-rekannya. Hal ini dilakukan demi menghindari tersulutnya kemarahan Daidan (Batalyon) PETA yang lain yang bisa saja malahan membuat pemberontakan meluas dan merembet ke mana-kemana.

Setelah kota Blitar berhasil diduduki kembali, langkah diplomasi pun dibuat. Kolonel Katagiri yang ditunjuk untuk memimpin operasi penumpasan mendatangi pasukan Supriyadi yang bertahan di Hutan Ngancar, perbatasan Kediri. 19 Februari 1945, di Sumberlumbu, Katagiri bertemu dengan Muradi, salah satu pemimpin pemberontak. Pasukan PETA menawarkan penyerahan diri bersyarat. Adapun syaratnya adalah:

1. Mempercepat kemerdekaan Indonesia
2. Para tentara PETA yang terlibat pemberontakan takkan dilucuti senjatanya
3. Aksi tentara PETA yang dilakukan pada 14 Februari 1945 di Kota Blitar
takkan dimintai pertanggungjawaban

Katagiri menyetujui syarat tersebut. Sebagai tanda sepakat, ia menyerahkan pedang perwiranya kepada Muradi untuk disimpan. Muradi beserta seluruh pasukannya kembali ke Blitar.

Nah, pada saat kembali dari Ngancar inilah, Supriyadi terakhir kali terlihat. Persisnya ia hilang di dukuh Panceran, Ngancar. Ada dugaan dia diculik secara diam-diam dan dibunuh Jepang di Gunung Kelud, namun berkembang juga isu bahwa Supriyadi sengaja melarikan diri. Mungkin ia memang sudah tak yakin Jepang akan memenuhi syarat yang diajukan PETA.

Jika itu yang ia rasakan, Supriyadi benar. Kesepakatan Sumberlumbu ternyata tak diakui oleh pimpinan tentara Jepang di Jakarta. Mereka meminta Kempetai tetap memproses para pelaku diproses. Dari hasil pilah memilah dan negosiasi, diberangkatkanlah 78 tentara PETA ke Jakarta untuk menghadapi pengadilan militer Jepang. Anggota lain yang terlibat hanya dikarantina di mess.

asil dari sidang militer, sebanyak 6 orang dijatuhi hukuman mati, 6 orang diganjar hukuman seumur hidup dan sisanya dihukum antara beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tak lama kemudian, Shudanco Moeradi, Chudanco Ismangil, Shudanco Halir Mangkoedjidjaja, Bundanco Soenanto dan Bundanco Soeparjono menjalani eksekusi mati dengan dipenggal kepalanya di Eereveld, Ancol.

Bagaimana dengan Supriyadi?
Sejak ia menghilang, ia tak pernah menunjukkan batang hidungnya kembali. Supriyadi sendiri pernah berpesan kepada ibunya beberapa hari sebelum pecahnya pemberontakan, apabila ia tidak kembali ke rumah dalam waktu 5 tahun, itu tandanya dirinya sudah meninggal dunia.

Apa benar Supriyadi telah gugur?
Yang jelas, fakta bahwa jasadnya tak pernah diketemukan berbanding dengan penunjukannya sebagai panglima tentara Indonesia yang pertama menjadi bahan menarik sebagai komoditi misteri hingga kini. Komoditi yang juga sama dengan kasus raibnya Tan Malaka sebelum dipecahkan oleh sejarawan Belanda, Dr Harry Poeze.(tbs/nrl)

Teka-teki hilangnya supriyadi ahirnya mulai terkuak
Teka-teki hilangnya supriyadi ahirnya mulai terkuak pada sebuah acara pembahasan buku ‘Mencari Supriyadi, Kesaksian Pembantu Utama Bung
Karno’, yang diadakan di Toko Buku Gramedia di Jalan Pandanaran Semarang 9 Agustus lalu. Dalam acara itu, seorang
pria sepuh bernama Andaryoko Wisnu Prabu membuka jati diri dia sesungguhnya.
Dia mengaku sebagai Supriyadi, dan kini berusia 88 tahun.


Selain dari bukti foto, penuturannya yang gamblang tentang PETA dan perjuangan Indonesia pasca kemerdekaan,
keaslian Andaryoko sebagai Supriyadi diperkuat oleh pengakuan sejarawan dari Universitas Sanata Dharma Jogjakarta, Dr Baskara Tulus Wardaya.Dengan menggali aneka sumber dan ditambah aneka foto-foto pendukung serta wawancara dengan Andaryoko sendiri,
Baskara tiba pada satu kesimpulan: Andaryoko adalah Supriyadi. Setelah menghilang, Supriyadi memang berganti nama menjadi Andaryoko.

Baskara berharap, publik memberi kesempatan bagi Andaryoko untuk menyampaikan narasi/penuturan sejarah perjuangan yang pernah ia jalani lewat tulisan, seperti dalam buku Mencari Supriyadi,
Kesaksian Pembantu Utama Bung Karno.

“Saya berjumpa beliau sekitar April 2008 dalam sebuah penelusuran sejarah.
Saya ingin mencari pelaku-pelaku sejarah baru. Saya kemudian menemukan beliau dan wawancara. Belakangan beliau baru mengaku sebagai
Supriyadi,” tutur Baskara saat dihubungi Surya, Selasa (12/8).

Dari interaksi dengan Andaryoko, Baskara mendapati sesuatu yang berbeda. Menurut dia, beberapa orang yang sebelumnya mengaku sebagai Supriyadi biasanya memiliki beberapa ciri. Di antaranya, selalu dikaitkan dengan mistis,hanya berpusat pada sosok dirinya, dan tidak bisa mengaitkan sejarah dengan perkembangan pasca kemerdekaan dan zaman kekinian.

“Tetapi Andaryoko ini, dia orangnya rasional dan spiritual. Dia bisa mengaitkan sejarah tempo dulu dan sekarang. Ia juga kritis terhadap situasi saat ini,” katanya.

Baskara mencontohkan, cerita Andaryoko mengenai peran pemuda menuju kemerdekaan yang sangat besar. Sebagai pelaku sejarah, Andaryoko menyebut, pemuda pada zaman itu sudah memiliki kesadaran politik yang kuat. Mereka sadar, pemberontakan yang akan mereka lakukan pada tentara Jepang saat itu pasti tidak ada gunanya karena kalah
persenjataan.

“Tapi, toh itu tetap mereka lakukan, karena mereka sadar bahwa perjuangan perlu simbol.
Mereka melakukan itu karena gundah melihat kekejaman tentara Jepang terhadap rakyat Indonesia,” urai Baskara yang juga Kepala Pusat Sejarah dan Etika Politik (Pusdep) Universitas Sanata Dharma Jogjakarta itu.

Andaryoko lahir 23 Maret 1920. Saat masuk PETA, usianya ‘dituakan’ tiga tahun. “Sehingga ia
mengikuti pendidikan tentara saat berusia 25 tahun. Jika dirunut sampai tahun 1945, maka pemberontakan yang dilakukannya wajar, karena usianya relatif muda,” ungkapnya.

Di rumah Andaryoko yang kini ia tinggali, juga tidak terdapat banyak peninggalan. Saat melarikan diri, sebut Baskara, ia hanya mengenakan satu baju tanpa membawa peralatan lain. “Ia hanya punya foto semasa muda waktu masuk PETA dan sebuah samurai asli tentara Jepang. Katanya, itu milik tentara yang dia bunuh,” ujarnya.

Saat Andaryoko dikunjungi wartawan di rumahnya di Jl Mahesa No. 101, Pedurungan, Semarang, Selasa (12/ 8) kemarin, bukti-bukti yang menegaskan bahwa dia sebagai Supriyadi makin kuat.

Andaryoko antara lain menunjukkan foto dirinya saat masih muda. Dia kemudian membandingkan foto Supriyadi yang dipublikasikan di buku berjudul 30 Tahun Indonesia Merdeka yang diterbitkan Cipta Lamtorogung tahun 1985. Begitu dua foto itu disandingkan, memang sangat mirip.

Pertanyaannya, kenapa Andaryoko baru membuka jati dirinya?

Ada dua alasan mengapa dirinya baru buka-bukaan sekarang ini. Pertama, adanya dorongan dari banyak pihak agar dirinya segera membuka diri. Di masa lalu setelah pemberontakan PETA Blitar, dia sengaja menyamarkan diri agar tidak ditangkap tentara Jepang.

Alasan kedua, saat ini merupakan saat yang pas bagi Andaryoko untuk membuka diri ke publik. “Dulu Bung Karno pernah berpesan kepada saya begini, `Sup, kamu kan mengalami sendiri sejarah bangsa ini. Tolong kalau kamu diberi umur panjang, kamu ceritakan semua yang kamu ketahui`. Dan sekarang inilah saatnya saya melaksanakan pesan Bung Karno, karena saya sudah berusia lanjut,” kata Andaryoko yang kemarin mengenakan baju warna cokelat.

Setelah menghilang ke hutan-hutan selama sekitar 3 bulan sejak pemberontakan di Blitar, kata Andaryoko, dirinya mulai keluar dan menemui Bung Karno. Sempat ragu bahwa yang datang adalah Supriyadi, Bung Karno kemudian mengajak berbicara cukup lama pada Mei 1945 itu. Akhirnya Bung Karno mengakui dan langsung menyapa Supriyadi dengan panggilan `Sup`.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Andaryoko mengaku sempat diminta Bung Karno untuk menjadi Menteri Keamanan Rakyat. Namun ia menolak.

Bung Karno kemudian meminta Supriyadi ke Semarang menemui Wakil Residen Semarang, Wongsonegoro.
“Saya diterima menjadi staf kantor Residen Semarang . Nama saya diganti menjadi Andaryoko,” katanya.

Dalam perkembangan politik selanjutnya, ia sangat kecewa ketika Republik Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat hasil dari Konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Di sana ada Uni Indonesia yang diketuai oleh Belanda. Itu artinya sama saja masih dijajah Belanda. Supriyadi pun kemudian menghilang.

Ia tidak bercerita apa saja yang ia kerjakan selama menghilang itu. Namun beberapa kali ia wira-wiri Semarang-Blora untuk keperluan meruwat (sebuah ritual tradisional penolak bala ala kepercayaan Jawa) selain untuk keperluan keluarga.

Baskara berpendapat, cerita Andaryoko boleh tidak dipercaya. Tapi, doktor sejarah lulusan Universitas Marquette,Wisconsin, Amerika Serikat (AS) ini pun mempertanyakan mengapa pemerintahan Jepang kala itu tidak pernah mengumumkan kematian Supriyadi.

“Menjadi kebiasaan waktu itu, tentara republik yang menjadi pemberontak Jepang dan gagal, kalau mati pasti
diumumkan. Itu untuk mematahkan semangat perjuangan tentara lainnya yang ingin berontak. Tapi kita ingat, sampai sekarang tidak pernah dikabarkan kapan ia mati dan di mana makamnya,” tegas Baskara.

Andai setelah kemunculan Andaryoko ini muncul pro dan kontra, Baskara melihatnya sebagai sesuatu yang positif. Ia mengajak keluarga Supriyadi yang ada di Blitar atau daerah lain serta para sejarawan ikut mendiskusikan masalah itu dalam kerangka akademis.

Andaryoko sendiri siap untuk dikonfrontir dengan keluarga Supriyadi untuk membuktikan kebenaran. “Ya silakan kalau mau (datang ke sini),” kata Andaryoko. Sejauh ini, tak ada orang yang datang ke rumahnya untuk meminta klarifikasi.
Termasuk pejabat dan tokoh-tokoh penting. Dia tidak pernah mengharap kedatangan dan tidak menolak kedatangan mereka.

Selama tinggal di Semarang, Andaryoko berpindah-pindah tempat. Pada awalnya, dia tinggal di Jalan Majapahit. Dan terakhir, pada tahun 2001 hingga kini, dia menempati rumah di Pedurungan. Dilihat dari rumahnya, keluarga Andaryoko terbilang berkecukupan. Rumah bercat itu berdiri kokoh dan asri seolah siap menerima kedatangan siapa pun.

Andaryoko mempunyai empat anak, yakni Reni, Andarwanto, Akso, dan Wening. Wening saat ini bekerja di Departemen Luar Negeri.

No comments:

Post a Comment