Gadis Penjual Bakso
Hari-hari pertamaku terasa begitu panjang dan melelahkan. Jadwal kuliah belum dimulai, kugunakan waktu untuk lebih mengenal tuan rumah dan tempat tinggal baruku. Aku memanggilnya Pak Piyo dan Bu Karti. Kampung ini begitu padat. Rumah-rumah berhimpitan. Akupun berkenalan dengan tetangga-tetangga terdekat. Mereka terlihat tak seramah tetangga-tetanggaku di dusun. Mungkin inilah bedanya orang kota dan dusun , pikirku waktu itu.
Code memang agak lebar , lebarnya berkisar 10 meteran. Airnya pun tak begitu dalam. Di pinggirnya dibangun sumur umum, dan kamar mandi umum. Ternyata memang sebagian besar warga pinggiran ini banyak menggunakan fasilitas umum untuk keperluan MCK. Sedang untuk urusan dapur mereka menggunakan air PAM. Begitu juga dengan keluarga yang kutumpangi. Untuk keperluan masak dan mencuci piring kami gunakan air PAM, tapi untuk keperluan mencuci baju, harus di sumur umum. Awal-awal aku sangat kikuk, tapi lama kelamaan aku terbiasa juga.
Sehari-hari Pak Piyo dan Bu Karti berjualan bakso dan es. Pagi hari mereka mempersiapkan dagangan. Dari cara membuat bakso, sampai membuat es campur yang enak dilakukan dengan terampil. Mereka begitu sabar dan mau mengajariku untuk membuat makanan itu. Ini benar-benar pengalaman baru bagiku.
Setelah semua dagangan siap, aku membantu mereka membawa ke warung tempat berjualan, tak jauh dari rumah yang kami tempati. Di situlah pelajaran baru kumulai lagi. Bagaimana menata makanan sampai menyajikan ke pembeli. Dari wajah yang harus selalu ramah sampai basa-basi. Lucu sekali rasanya. Maklumlah aku sebenarnya anak yang pemalu, bahkan dibilang jarang bercakap, apalagi berbasa-basi.
“ Kalau wajah kusut, muka cemberut, yang mau beli jadi malas”
Begitu Bu Karti sering mengingatkan. Sederhana memang, tapi begitulah adanya. Trik-trik jualan yang mereka dapatkan dari keseharian. Keramahan dan kesupelan dalam melayani pembeli menjadi syarat mutlak dalam perdagangan.
Kuperhatikan Bu Karti, begitu luwes dan ramahnya melayani pembeli. Senyum renyah tak pernah henti, sambil tangannya meramu bakso dan minuman . Tak lupa dikenalkannya aku pada para pembeli. Hehe...aku jadi malu sendiri.
Hari-hari kuliahkupun tiba. Kampus yang kuinginkan kini di depan mata. Banyak teman dari berbagai daerah, tapi tak satupun yang berasal dari daerah yang sama. Mereka kelihatan seperti anak kota. Penampilan dan gaya mereka yang sangat berbeda denganku . Kulihat diriku, ah...aku jadi malu. Bajuku hanya beberapa, apalagi tas. Tas ransel cokelat teman setiaku. Tak mengapalah yang penting masih muat buku, hiburku.
“ Nanti kau akan bertemu dengan banyak teman, mungkin tidak sama sepertimu, yang pasti mereka jauh beruntung, berasal dari keluarga kaya, tapi kamu tak boleh minder. Kekayaan bukanlah ukuran dalam menuntut ilmu. Ingat, yang kaya orang tuanya, bukan mereka. Orang tuamu memang miskin, tapi kau sama seperti mereka , Nak “
Begitu pesan orang tuaku waktu itu. Kalau aku ingin maju, aku tidak boleh minder dengan keadaan orang tuaku. Toh mereka sama denganku, dan aku juga membayar seperti mereka. Pikirku menghibur perasaanku.
Mula-mula aku memang tak percaya diri, tapi lama- kelamaan tekad dan keinginanku untuk menjadi guru, mengalahkan rasa minderku. Ini belum seberapa. Lama kelamaan teman-temanku akhirnya tahu, kalau aku sering berjualan bakso .Dan benar saja, akhirnya terkuak juga identitasku. Berbagai reaksi kuterima. Ada yang menjauh, ada yang mendekat. Aku tak peduli. Toh aku tidak menyakiti mereka. Jadi untuk apa kupikirkan reaksi teman-temanku. Biarlah mereka belajar untuk mengerti sendiri, memang nasib tidak semuanya sama. Biarlah mereka mengerti , kalau si penjual bakso sepertikupun berhak untuk mendapatkan pendidikan yang tinggi. Maka kuterima saja ketika aku mendapat julukan “ Gadis Penjual Bakso “. Tak mengapa. Aku justru bangga dengan hal itu. Setidaknya aku tidak menjadi benalu bagi keluarga baruku. Untung sudah kubuang jauh-jauh topeng maluku
Warung bakso Pak Piyo biasanya akan ramai pada akhir pekan. Sabtu dan Minggu menjadi hari penuh harapan, dagangan habis terjual, uangpun didapatkan. Akupun mendapat bagian. Sebenarnya tak kuharapkan, toh aku sudah mendapat makan dan tumpangan. Tetapi mereka selalu memaksakan. Rejeki tak boleh ditolak. Lumayan, hasil tambahan Sabtu Minggu bisa kugunakan untuk tambah-tambah uang saku. Bahkan lebih, bisa kumasukkan ke celengan jagoku. Tapi bila pas jualan sepipun , aku tak begitu berharap. Aku mulai cukup mengerti dan paham bagaimana berjualan. Kadang laris manis, sampai habis , kadang masih banyak , sudah biasa.
Hal ini membuatku tak seperti mahasiswa lainnya, yang menggunakan Sabtu dan Minggu untuk pulang dan berakhir pekan, mengambil jatah uang saku dan uang kontrakan. Sabtu Minggu kugunakan untuk membantu keluarga baruku. Harus kupendam rasa rindu, pada bapak dan ibuku, juga adik-adikku, begitu pula kampung halamanku. Namun apalah dayaku, ikut berjualan bakso, adalah caraku membalas kebaikan Pak Piyo dan Bu Karti kepadaku. Apalagi kalau membantu, aku juga mendapat tambahan uang saku, toh juga meringankan beban orang tuaku.
Aku sangat beruntung, jadwal kuliahku di hari Sabtu, hanya satu mata kuliah, hingga bisa kugunakan untuk segera pulang dan ikut berjualan. Aku punya buku kecil yang selalu kubawa ke mana-mana. Kebiasaan ini aku punya sejak SMA. Buku kecil berisi rangkuman pelajaran, yang bisa kubaca di mana-mana. Mungkin itulah salah satu kunciku hingga dulu aku bisa terus masuk 10 besar di sekolahku, meski hanyalah anak dusun. Akhirnya kubawa kebiasaanitu hingga kuliahku. Buku kecilku selalu ada dan kubawa ke manapun. Termasuk pas jualan. Ketika menunggu dan mengisi waktu senggangku, kubaca buku kecilku. Lumayanlah setidaknya mengusir waktu agar cepat berlalu.
Bila pagi menjelang, Pak Piyo dan Bu Karti pergi ke pasar untuk berbelanja, akupun bergegas membereskan rumah, dan menyiapkan peralatan. Mereka biasanya berangkat setelah sholat subuh. Akupun demikian, mencuci piring, baju harus kukerjakan sebelum mereka pulang. Mula-mula mereka melarangku untuk melakukan semua, tapi bagiku itu bukanlah hal yang berat. Aku sengaja melakukan semua agar aku tak merasa menjadi beban dalam keluarga. Akhirnya mereka pun mengizinkan aku mengerjakan semuanya. Kunikmati perjalanan hidupku yang seperti ini. Toh suatu saat nanti aku juga akan berkeluarga. Kuambil saja hikmahnya, bagiku mengerjakan ini semua bagai sebuah penggemblengan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga di suat saat nanti. Aku latihan membagi waktu dan diri. Menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat kuliah. Ketika Pak Piyo dan Bu Karti pulang, aku sudah siap untuk berangkat kuliah. Tak lupa minum teh dan sarapanpun sudah kuhidangkan. Dengan izin mereka aku berangkat, dan nanti pulang segera membantu jualan mereka. Kucium tangan mereka seperti aku mencium tangan orang tuaku. Bagiku mereka adalah bapak dan ibu kedua setelah orang tuaku. Restu mereka bagaikan restu orang tuaku. Begitulah keseharianku si gadis penjual bakso yang tak malu untuk menuntut ilmu.
No comments:
Post a Comment