Aku masih begitu asing, ketika menginjakkan kaki di kota ini. Lebih tepatnya di pinggiran di sebuah perkampungan padat penduduk , sepanjang bantaran Kali Code. Kali Code bagaikan ular panjang dan besar membelah di tengah ramainya kota. Beda sekali dengan kali di dusunku , yang lebarnya tak lebih dari dua meter saja.
Aku adalah “ cah ndeso” , dari sebuah dusun yang jauh dari hingar bingarnya kehidupan kota. Jarak antar rumah dengan tetanggapun masih sangat berjauhan, dan banyak pohon-pohon besar di antaranya. Kalau malam menjelang, dusunku bagaikan tak berpenghuni, sepi, gelap dan mencekam. Maklumlah jaringan listrik masuk desa belum sepenuhnya sampai di seluruh dusun. Bila magrib menjelang, jendela dan pintupun segera tertutup rapat. Kecuali saat bulan purnama, para warga dan anak-anak biasanya asyik bersendau gurau sambil melihat indahnya bulan di malam hari.
“Ini kamarmu, masukkan dan rapikan barang-barangmu”
Kalimat itu membuyarkan ingatan tentang dusunku.
“ Eh , iya Bu...”
Bergegas Aku memasukkan tas dan kardus bawaanku ke dalam kamar . Kutatap sekeliling kamar yang tak begitu luas. Lumayan ada tempat tidur, lemari baju dan meja kecil untuk belajar. Kuturunkan barang-barangku yang tak seberapa satu persatu. Ingatanku pun kembali membawaku ke kampung halaman, tempat aku dilahirkan dan hidup bersama keluargaku. Karena keinginanku yang begitu besarlah yang membawa diriku ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan.
Aku sangat beruntung, meski dilahirkan di sebuah keluarga yang sederhana, bahkan bisa dibilang sangat sederhana, tetapi orang tuaku mempunyai pikiran yang maju tentang pendidikan. Bahkan Ibuku selalu menomorsatukan pendidikan untuk anak-anaknya. Hal ini tentu sangat berseberangan dengan orang-orang di dusunku. Anak-anak yang sekolah SMA sangat jarang. Terlebih bagi anak gadis sepertiku. Bisa sekolah sampai SMP saja itu sudah luar biasa. Biasanya selepas SMP para anak gadis akan merantau ke kota. Entah di sana mereka jadi apa. Yang kutahu ketika lebaran tiba , para perantau mudik ke kampung halaman. Penampilan mereka jadi berubah, terlihat begitu enak dan nyaman kehidupan mereka. Memakai perhiasan dan baju yang bagus-bagus, tak lupa gaya bahasa ala anak kota. Aku pernah merasa iri dan ingin sekali seperti mereka. Tetapi ibuku selalu bilang, selama masih mampu untuk sekolah, anak-anaknya harus sekolah yang tinggi, tidak terkecuali aku.
Kehidupan sebagian besar warga di dusunku adalah petani, demikian juga orang tuaku. Tetapi mereka hanyalah buruh tani. Mereka tak punya ladang sendiri. Aku empat bersaudara,adik-adikku semuanya lelaki, dan aku satu-satunya anak gadis dalam keluargaku. Semuanya sekolah, bisa terbayang betapa beratnya perjuangan orang tuaku untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Selain sebagai buruh tani, bapakku juga memelihara beberapa ekor kambing. Mungkin kambing-kambing inilah yang bisa meringankan beban orang tuaku untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sepulang sekolah biasanya aku dan adik-adikku punya tugas “ ngarit “ atau mencari pakan kambing berupa rerumputan. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh anak-anak sebayaku dan warga lainnya. Selain bercocok tanam , mereka juga mempunyai hewan ternak peliharaan.
Ketika aku sedang mencari rumput, adik-adikku membawa kambing-kambing ke padang rumput. Mereka tidak merumput tetapi “ angon”atau menggembalakan kambing-kambingnya .Dibiarkannya kambing-kambing itu makan sepuasnya, sambil ditinggal bermain dan ngobrol dengan teman-temannya. Sungguh asyik dan menyenangkan. Berlari kejar-kejaran , anak-anak senang kambingpun kenyang. Hingga petang menjelang kambing-kambingpun di bawa pulang ke kandang.
Tapi semua itu harus ditinggalkan. Selepas SMA, aku ingin merantau saja ke kota seperti para gadis lainnya. Namun orang tuanya menentang keras keinginan itu. Mungkin karena aku dianggap berprestasi, sehingga sayang kalau sekolahku terhenti. Kebetulan sejak SD hingga SMA aku selalu mendapatkan rangking di kelas, sehingga ibu tidak mengijinkan aku untuk mengikuti jejak gadis-gadis di dusunku. Orang tuaku tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi, hanya lulus SD saja waktu itu. Padahal mungkin sebenarnya bapak dan Ibuku cukup pintar, namun karena keadaan yang tak memungkinkan, akhirnya tidak melanjutkan. Mereka tak ingin ini terjadi pada anak-anaknya.
“ Kalian harus sekolah yang tinggi, agar tidak jadi seperti orang tuamu ini Nak , kami yakin kalian bisa. Orang tua tak bisa memberi bekal harta dan tanah yang luas untuk kalian, tetapi kami akan memberi bekal ilmu, dan gunakanlah ilmumu untuk modal kehidupan kalian nanti”
Biaya kuliah bagi keluargaku tidaklah murah, belum lagi untuk makan dan kos di kota nanti. Tetapi untunglah orangtuaku mempunyai saudara jauh di kota. Mereka menawarkan tumpangan tempat tinggal dan makan gratis, selama kuliahku di Jogja. Tentu saja disambut baik oleh keluarga . Sebenarnya aku sangat takut , karena belum pernah sebentarpun pergi dan lepas dari keluarganya. Tapi demi sekolah dan harapan orang tuaku , akhirnya aku menerima tawaran itu. Ibuku adalah orang pertama yang selalu meyakinkan untuk terus maju..
Orang tua dan adik-adikku melepas kepergianku siang itu. Berbekal baju seadanya dan beberapa buku aku ke kota mengikuti saudara ibukku, meninggalkan kampung halamanku. Baru sekali ini aku berpisah dengan keluargaku. Kupeluk erat Bapak , ibu dan adik-adikku.
“ Jaga diri baik-baik ya Nak, tetap semangat, kami yakin kamu bisa “
Bisik Ibu melepas kepergiannya. Kini mereka benar-benar telah jauh dariku. Aku berada di tempat asing yang sangat jauh berbeda dengan dusunku. Tak terasa butiran hangat jatuh di pipi tirusku. Segera kuhapus dengan ujung kerudung yang tak lagi baru .
“Aku tak boleh cengeng, Bapak dan ibukku sudah berjuang untukku, aku tak boleh lemah. Ini baru awal perjalananku di sini. Aku harus bisa” Batinku menghibur diri.
Keluarga yang baik hati dan mau menampungnya ini memiliki tiga anak yang sudah besar-besar. Bahkan yang paling besar sudah berkeluarga, dan tinggal di rumah yang berbeda , meski masih satu RT. Yang nomor dua sudah lulus SMA tetapi tak melanjutkan sekolah. Dia memilih untuk ikut kursus merias. Sementara yang bungsu masih sekolah SMA , lumayan paling tidak usia tidak jauh berbeda denganku . Keluarga ini memang tak bisa dibilang kaya raya, tetapi lebih beruntunglah dari pada keluargaku. Lebih mapan meski hanya penjual bakso dan es. Ini terlihat dari rumahnya yang tentu lebih bagus dari rumah bata kami di dusun. Yang terpenting bagiku, mereka sangat baik hati. Mau menampungku selama kuliah. Aku pun diberi kamar sendiri, menempati kamar anak sulung mereka yang kini sudah berkeluarga.
Diterima di salah satu perguruan tinggi negeri keguruan di kota ini membuat orang tuaku bangga dan semakin bulat untuk menguliahkanku. Aku tak boleh mengecewakan mereka. Aku harus tetap semangat, meski harus menumpang dan tinggal di sebuah kawasan padat penduduk, pinggiran Kali Code. Dari ‘ cah ndeso “ menjadi “ cah nggirli “ , anak pinggiran kali. Salam kenal ku sampaikan untuk Code yang terdiam. Temani aku mengisi lembaran hari-hariku ke depan, demi sebuah impian , menjadi guru idaman.
Aku adalah “ cah ndeso” , dari sebuah dusun yang jauh dari hingar bingarnya kehidupan kota. Jarak antar rumah dengan tetanggapun masih sangat berjauhan, dan banyak pohon-pohon besar di antaranya. Kalau malam menjelang, dusunku bagaikan tak berpenghuni, sepi, gelap dan mencekam. Maklumlah jaringan listrik masuk desa belum sepenuhnya sampai di seluruh dusun. Bila magrib menjelang, jendela dan pintupun segera tertutup rapat. Kecuali saat bulan purnama, para warga dan anak-anak biasanya asyik bersendau gurau sambil melihat indahnya bulan di malam hari.
“Ini kamarmu, masukkan dan rapikan barang-barangmu”
Kalimat itu membuyarkan ingatan tentang dusunku.
“ Eh , iya Bu...”
Bergegas Aku memasukkan tas dan kardus bawaanku ke dalam kamar . Kutatap sekeliling kamar yang tak begitu luas. Lumayan ada tempat tidur, lemari baju dan meja kecil untuk belajar. Kuturunkan barang-barangku yang tak seberapa satu persatu. Ingatanku pun kembali membawaku ke kampung halaman, tempat aku dilahirkan dan hidup bersama keluargaku. Karena keinginanku yang begitu besarlah yang membawa diriku ke kota ini untuk melanjutkan pendidikan.
Aku sangat beruntung, meski dilahirkan di sebuah keluarga yang sederhana, bahkan bisa dibilang sangat sederhana, tetapi orang tuaku mempunyai pikiran yang maju tentang pendidikan. Bahkan Ibuku selalu menomorsatukan pendidikan untuk anak-anaknya. Hal ini tentu sangat berseberangan dengan orang-orang di dusunku. Anak-anak yang sekolah SMA sangat jarang. Terlebih bagi anak gadis sepertiku. Bisa sekolah sampai SMP saja itu sudah luar biasa. Biasanya selepas SMP para anak gadis akan merantau ke kota. Entah di sana mereka jadi apa. Yang kutahu ketika lebaran tiba , para perantau mudik ke kampung halaman. Penampilan mereka jadi berubah, terlihat begitu enak dan nyaman kehidupan mereka. Memakai perhiasan dan baju yang bagus-bagus, tak lupa gaya bahasa ala anak kota. Aku pernah merasa iri dan ingin sekali seperti mereka. Tetapi ibuku selalu bilang, selama masih mampu untuk sekolah, anak-anaknya harus sekolah yang tinggi, tidak terkecuali aku.
Kehidupan sebagian besar warga di dusunku adalah petani, demikian juga orang tuaku. Tetapi mereka hanyalah buruh tani. Mereka tak punya ladang sendiri. Aku empat bersaudara,adik-adikku semuanya lelaki, dan aku satu-satunya anak gadis dalam keluargaku. Semuanya sekolah, bisa terbayang betapa beratnya perjuangan orang tuaku untuk bisa menyekolahkan anak-anaknya. Selain sebagai buruh tani, bapakku juga memelihara beberapa ekor kambing. Mungkin kambing-kambing inilah yang bisa meringankan beban orang tuaku untuk membiayai sekolah anak-anaknya. Sepulang sekolah biasanya aku dan adik-adikku punya tugas “ ngarit “ atau mencari pakan kambing berupa rerumputan. Kegiatan ini biasa dilakukan oleh anak-anak sebayaku dan warga lainnya. Selain bercocok tanam , mereka juga mempunyai hewan ternak peliharaan.
Ketika aku sedang mencari rumput, adik-adikku membawa kambing-kambing ke padang rumput. Mereka tidak merumput tetapi “ angon”atau menggembalakan kambing-kambingnya .Dibiarkannya kambing-kambing itu makan sepuasnya, sambil ditinggal bermain dan ngobrol dengan teman-temannya. Sungguh asyik dan menyenangkan. Berlari kejar-kejaran , anak-anak senang kambingpun kenyang. Hingga petang menjelang kambing-kambingpun di bawa pulang ke kandang.
Tapi semua itu harus ditinggalkan. Selepas SMA, aku ingin merantau saja ke kota seperti para gadis lainnya. Namun orang tuanya menentang keras keinginan itu. Mungkin karena aku dianggap berprestasi, sehingga sayang kalau sekolahku terhenti. Kebetulan sejak SD hingga SMA aku selalu mendapatkan rangking di kelas, sehingga ibu tidak mengijinkan aku untuk mengikuti jejak gadis-gadis di dusunku. Orang tuaku tidak sempat mengenyam pendidikan tinggi, hanya lulus SD saja waktu itu. Padahal mungkin sebenarnya bapak dan Ibuku cukup pintar, namun karena keadaan yang tak memungkinkan, akhirnya tidak melanjutkan. Mereka tak ingin ini terjadi pada anak-anaknya.
“ Kalian harus sekolah yang tinggi, agar tidak jadi seperti orang tuamu ini Nak , kami yakin kalian bisa. Orang tua tak bisa memberi bekal harta dan tanah yang luas untuk kalian, tetapi kami akan memberi bekal ilmu, dan gunakanlah ilmumu untuk modal kehidupan kalian nanti”
Biaya kuliah bagi keluargaku tidaklah murah, belum lagi untuk makan dan kos di kota nanti. Tetapi untunglah orangtuaku mempunyai saudara jauh di kota. Mereka menawarkan tumpangan tempat tinggal dan makan gratis, selama kuliahku di Jogja. Tentu saja disambut baik oleh keluarga . Sebenarnya aku sangat takut , karena belum pernah sebentarpun pergi dan lepas dari keluarganya. Tapi demi sekolah dan harapan orang tuaku , akhirnya aku menerima tawaran itu. Ibuku adalah orang pertama yang selalu meyakinkan untuk terus maju..
Orang tua dan adik-adikku melepas kepergianku siang itu. Berbekal baju seadanya dan beberapa buku aku ke kota mengikuti saudara ibukku, meninggalkan kampung halamanku. Baru sekali ini aku berpisah dengan keluargaku. Kupeluk erat Bapak , ibu dan adik-adikku.
“ Jaga diri baik-baik ya Nak, tetap semangat, kami yakin kamu bisa “
Bisik Ibu melepas kepergiannya. Kini mereka benar-benar telah jauh dariku. Aku berada di tempat asing yang sangat jauh berbeda dengan dusunku. Tak terasa butiran hangat jatuh di pipi tirusku. Segera kuhapus dengan ujung kerudung yang tak lagi baru .
“Aku tak boleh cengeng, Bapak dan ibukku sudah berjuang untukku, aku tak boleh lemah. Ini baru awal perjalananku di sini. Aku harus bisa” Batinku menghibur diri.
Keluarga yang baik hati dan mau menampungnya ini memiliki tiga anak yang sudah besar-besar. Bahkan yang paling besar sudah berkeluarga, dan tinggal di rumah yang berbeda , meski masih satu RT. Yang nomor dua sudah lulus SMA tetapi tak melanjutkan sekolah. Dia memilih untuk ikut kursus merias. Sementara yang bungsu masih sekolah SMA , lumayan paling tidak usia tidak jauh berbeda denganku . Keluarga ini memang tak bisa dibilang kaya raya, tetapi lebih beruntunglah dari pada keluargaku. Lebih mapan meski hanya penjual bakso dan es. Ini terlihat dari rumahnya yang tentu lebih bagus dari rumah bata kami di dusun. Yang terpenting bagiku, mereka sangat baik hati. Mau menampungku selama kuliah. Aku pun diberi kamar sendiri, menempati kamar anak sulung mereka yang kini sudah berkeluarga.
Diterima di salah satu perguruan tinggi negeri keguruan di kota ini membuat orang tuaku bangga dan semakin bulat untuk menguliahkanku. Aku tak boleh mengecewakan mereka. Aku harus tetap semangat, meski harus menumpang dan tinggal di sebuah kawasan padat penduduk, pinggiran Kali Code. Dari ‘ cah ndeso “ menjadi “ cah nggirli “ , anak pinggiran kali. Salam kenal ku sampaikan untuk Code yang terdiam. Temani aku mengisi lembaran hari-hariku ke depan, demi sebuah impian , menjadi guru idaman.
No comments:
Post a Comment