Selasa, 28 Nopember 2017. Kami masih seperti biasanya. Menganggap hujan yang tak kunjung reda adalah hal biasa di musim “ dedah “ hingga kamipun beraktivitas seperti biasanya. Hujan dari kemarin tak sedikitpun menyurutkan langkah . Berbekal mantol seadanya menuju tempat kerja, saling bertegur sapa dan sendau gurau seperti biasanya. Anak-anakpun demikian, ada yang diantar, ada yang berangkat naik sepeda dengan jas hujannya. Semua masih seperti biasanya.
Siang menjelang hujan tak kunjung reda. Kadang deras, kadang gerimis , tetapi terus menerus tak kunjung berhenti juga. Sedikit resah mulai mengusik jiwa. Tapi kami tetap seperti biasanya. Menuntaskan tugas dan kewajiban.
Ketika bel berbunyi , tanda pelajaranpun telah usai. Berbagai pesan disampaikan, agar anak-anak menunggu jemputan, bagi yang naik sepeda menunggu hujan agak reda. Buku dan sepatu diamankan. Tas plastik senjata utama, agar aman dari tetesan air hujan.
Gerbang sekolahpun dibuka. Kami pun tersentak. Baru kami menyadarinya, ini hujan tak seperti biasanya. Berjuta rasa bercampur aduk di dalamnya. Bergegas menghubungi sanak saudara. Ketika tersambung, kamipun terduduk lemas. Air telah menggenang di mana-mana. Banjir melanda kota kesayangan. Tak tahu harus berbuat apa. Air matapun mulai jatuh bercucuran. Terbayang bagaimana kami bisa pulang. Anak-anak masih berlarian , menuju tempat yang aman. Berharap hujan segera reda, orang tua segera datang, bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga.
Bantul sore itu kian mencekam. Listrik pun sudah dipadamkan . Jalan-jalan tak lagi terlihat,yang ada hanyalah hamparan air yang kecoklatan, beriak bagaikan ombak berdeburan terkena terjangan kendaraan. Sorot lampu kendaraan yang diandalkan. Air mataku semakin bercucuran.
Ketika Cempaka menyapa , Bantulpun berduka. Banyak sekolah yang terendam, bahkan rumahpun tergenang. Tak hanya itu , tanah yang sudah tergerus hujanpun longsor kemudian. Ya Allah...inikah teguran atau hukuman? Kami benar-benar takut , sungguh kami tak berdaya dengan semua ini. Ya Allah...lindungi dan ampuni kami. Beri kesempatan untuk melihat esok lagi dan bisa berbenah diri.
Marlupi
Siang menjelang hujan tak kunjung reda. Kadang deras, kadang gerimis , tetapi terus menerus tak kunjung berhenti juga. Sedikit resah mulai mengusik jiwa. Tapi kami tetap seperti biasanya. Menuntaskan tugas dan kewajiban.
Ketika bel berbunyi , tanda pelajaranpun telah usai. Berbagai pesan disampaikan, agar anak-anak menunggu jemputan, bagi yang naik sepeda menunggu hujan agak reda. Buku dan sepatu diamankan. Tas plastik senjata utama, agar aman dari tetesan air hujan.
Gerbang sekolahpun dibuka. Kami pun tersentak. Baru kami menyadarinya, ini hujan tak seperti biasanya. Berjuta rasa bercampur aduk di dalamnya. Bergegas menghubungi sanak saudara. Ketika tersambung, kamipun terduduk lemas. Air telah menggenang di mana-mana. Banjir melanda kota kesayangan. Tak tahu harus berbuat apa. Air matapun mulai jatuh bercucuran. Terbayang bagaimana kami bisa pulang. Anak-anak masih berlarian , menuju tempat yang aman. Berharap hujan segera reda, orang tua segera datang, bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga.
Bantul sore itu kian mencekam. Listrik pun sudah dipadamkan . Jalan-jalan tak lagi terlihat,yang ada hanyalah hamparan air yang kecoklatan, beriak bagaikan ombak berdeburan terkena terjangan kendaraan. Sorot lampu kendaraan yang diandalkan. Air mataku semakin bercucuran.
Ketika Cempaka menyapa , Bantulpun berduka. Banyak sekolah yang terendam, bahkan rumahpun tergenang. Tak hanya itu , tanah yang sudah tergerus hujanpun longsor kemudian. Ya Allah...inikah teguran atau hukuman? Kami benar-benar takut , sungguh kami tak berdaya dengan semua ini. Ya Allah...lindungi dan ampuni kami. Beri kesempatan untuk melihat esok lagi dan bisa berbenah diri.
Marlupi
No comments:
Post a Comment