Thursday, January 3, 2019
Kisahmu Mengingatkanku
29 Sep @Kolom
Gempa Lombok, Gempa Palu dan Donggala, mengingatkanku kembali pada gempa yang pernah kami alami beberapa tahun yang lalu, tepatnya 27 Mei 2006. Gempa dengan skala 5,9 SR menggoncang Bantul dan sekitarnya. Tidak mudah melupakan. Masih lekat dalam ingatan, meninggalkan trauma dalam jiwa. Waktu itu hari masih begitu pagi, aku baru mempersiapkan sarapan pagi . Suami sedang berada di ruang depan, sementara aku dan anakku berada di ruang tengah. Tiba-tiba kaca jendela ruangan bergetar sangat keras, spontan kugendong anakku berlari ke belakang rumah sambil berteriak agar suami segera keluar rumah. Bumi benar-benar seperti tikar yang dikibaskan…
Allahu akbar…meski berulang kali terjatuh, aku berusaha untuk terus bangun dan tak melepas gendongan anakku. Terlintas dalam benakku, apa yang terjadi ? aku berpikir, apakah ini kiamat? Ya Allah..aku mohon beri kami kesempatan, aku masih banyak melakukan khilaf dan dosa, itulah yang terbersit dalam benakku waktu itu. Aku hanya minta diberi kesempatan agar bisa memperbaiki diriku yang masih lalai, sambal terus kupeluk anakku yang ketakutan. Kudengar suara orang-orang berteriak bertakbir, memohon pertolongan. Selang beberapa waktu goncanganpun berhenti, tangispun pecah di mana-mana, kami bertigapun akhirnya berpelukan , dan kami baru menyadari tembok-tembok rumah kami sudah ambrol, tinggal pintu yang masih berdiri. Namun semua tetap kami syukuri, karna Allah masih melindungi. Robohnya tembok tidak menimpa kami. Kami berusaha
keluar dari puing-puing bata, ternyata di luar sungguh ngeri. Rumah-rumah tetanggapun juga rata dengan tanah, bahkan ada yang masih terjebak dalam rumah. Kamipun saling membantu untuk bisa keluar dari reruntuhan. Listrik padam, ponselpun tak sempat kami bawa, tak ada yang bisa dihubungi. Kamipun berkumpul di depan rumah yang kebetulan masih ada lahan kosong. Sementara beberapa yang terluka diobati seadanya. Sementara goncangan demi goncangan masih terus bertubi, meski tidak sebesar yang pertama. Tidak selang berapa lama, tiba-tiba isu tsunami datang, orang-orang berlain sambal berteriak, tsunami, tsunami….. Kembali panik dan ketakutan. Hampir saja aku ikut berlari. Untung suamiku menenangkan dan mengingatkanku. Jarak rumah kami sangat jauh dari pantai, jadi seandainya ada tsunami tidak mungkin sampai. Dalam kondisi panik dan takut, semua tidak bisa berpikir dengan logika, isu dengan mudah disebarkan hingga banyak yang kurang perhitungan, ikut berlari tanpa tujuan.
Trauma gempa tidak bisa hilang begitu saja, setiap kaca bergetar, refleks untuk lari keluar rumah. Bahkan sampai sekarangpun kadang masih demikian. Hidup di tenda dalam waktu berbulan-bulanpun kami rasakan, hingga menambah ikatan persaudaraan dengan para tetangga. Saling berbagi saling menguatkan, bergotong royong membenahi rumah. Dahulu sebelum gempa hanya bertegur sapa seperlunya, kini terasa semakin akrab dan dekat.
Dan ketika berita gempa menimpa lain daerah, kamipun berempati, karena memang kami pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Semoga Allah memberikan kekuatan dan ketabahan untuk semuanya. Sesungguhnya hanya kepada –Nya lah kita mohon pertolongan dan perlindungan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment